Cerita ini mungkin sudah sangat terlambat, karena keterbatasan gawai (seringnya online di HP, jarang sekali ada kesempatan pegang komputer, sementara laptop untuk kerja sulit dipake internetan) dan energi :p.
Jadi, waktu umur Yaya sekitar tiga tahun, saya dan bapaknya berencana memberi adik. Ternyata, sebelum Yaya berulang tahun keempat, saya hamil.
Kehamilan kedua ini juga nggak terlalu disadari seperti waktu hamil Yaya. Cuma kerasa nggak enak badan seperti PMS. Agak curiga karena terlambat menstruasi, tapi karena ada flek, jadi saya kira karena capek, yang keluar hanya sedikit. Dua kali flek, dua kali juga saya curiga, jadi beli testpack. Tapi, ternyata dua-duanya negatif. Baru waktu tes ketiga, keluar garis dua.
Karena faktor U, kehamilan kali ini lebih melelahkan! (Coba kalau nikah umur 19 gitu ya, hahaaa). Terus, karena jadwal ngajar Emak masih padat, nggak bisa ikut yoga prenatal seperti waktu hamil Yaya, karena harus jauh-jauh ke Yogaleaf Buahbatu, Voila sedang renovasi. Ya sudah, sebisanya yoga sendiri, setidaknya setiap hari peregangan. Berenang juga masih, tapi nggak sesering waktu hamil Yaya, karena alasan yang sama.
Akibat trauma naik berat badan drastis, 20 kg waktu hamil Yaya, saya konsisten dengan food combining abal-abal (sejak sebelum hamil juga sih, sayang setelah melahirkan, karena makan “sakasampeurna”, jadi FC-nya berantakan). Yang penting pagi-pagi sarapan buah, kalau aturan lain seperti memisahkan protein hewani dengan karbohidrat sih cukup sering dilanggar. Tapi, cara ini lumayan berhasil, karena kenaikan berat badan saya hanya 9 kg sampai waktunya melahirkan.
Kebetulan sebelum kehamilan kedua ini saya melihat page tentang gentle birth di Facebook. Jadi, saya cari informasi sebanyak-banyaknya tentang ini. Tapi tetap kontrol ke Dokter Evi di Hermina Pasteur. Pengennya sih bisa water birth, jadi saya melacak bidan/dokter yang bisa membantu water birth. Dulu, di Galenia yang di belakang Salman bisa, tapi setelah bertanya-tanya via telepon, sudah nggak ada. Bidan yang biasa membantu juga sudah keluar katanya. Jadilah saya melacak bidannya, Bidan Okke Evriana.
Ternyata, Bidan Okke ini sudah keluar karena membuka klinik sendiri, Bumi Ambu. Lokasinya di Adipura Gedebage. Jauuuuh dari rumah saya. Tapi, akhirnya kesampean juga ketemu sama si teteh cantik ini, dijugjug juga ke Adipura waktu usia kehamilan saya 34 minggu. Ngobrol sama Teh Okke ini enak banget, yang jatahnya satu jam jadi moloooor. Meskipun ini kehamilan kedua, ada beberapa hal penting yang baru saya ketahui supaya persalinan lancar: bersihkan puting setiap hari sejak usia kehamilan 34 minggu (supaya ASI lancar), usahakan jangan sembelit (makan sayur dan buah, minum air putih yang banyak), dan jalan kaki setiap hari satu jam (ini bisa dicicil, misalnya setengah jam pagi, setengah jam sore).
Rencananya sih saya ingin melahirkan di rumah, Teh Okke juga sudah setuju dan sempat ke rumah minggu depannya. Tapi, ternyata, ketuban saya pecah saat usia kehamilan 38 minggu. Memang sejak pagi agak nggak enak badan, kerasa mules-mules sedikit, tapi nggak dahsyat. Yah, memang menurut Teh Okke juga melahirkan itu jodoh-jodohan. Waktu saya telepon, Teh Okke nyuruh segera ke rumah sakit, karena waktu itu Minggu sore, pasti macet, kalau nunggu takutnya nggak keburu.
Kebayang kan, Minggu sore kalau ke Hermina Pasteur, pasti antre mobil-mobil yang mau pulang ke Jakarta. Awalnya mau ke RSB Aisyah di dekat rumah, tapi si Emak yang sudah panik nyuruh Bidan Emma di Gegerkalong Hilir. Ya sudah, nurut aja kata Emak, soalnya kami juga bingung hehehe ….
Pecah ketuban jam 4, sampai sana lima belas menit kemudian, diperiksa ternyata sudah bukaan 5. Padahal nggak kerasa mules-mules. Masih bisa whatsappan sama temen-temen, update berita, hahaaa …. Jam tujuh baru mulai kerasa mules, dan yang dahsyat jam delapan. Jam setengah sembilan, ternyata sudah bukaan sepuluh, horeee! Tapi, kok keluarnya lebih susah daripada si Yaya, ya? Ternyata, tali pusar si bayi melilit leher dua kali.
Jadi, semua keinginan saya gagal: water birth di rumah, melahirkan dengan posisi bukan berbaring dan kaki diangkat, juga lotus birth (tali pusat nggak dipotong, nunggu putus sendiri), juga IMD langsung setelah lahir. Adiknya si Yaya lahir agak biru, karena lehernya terlilit. Setelah ditepuk-tepuk agak lama, akhirnya nangis juga. Langsung masuk inkubator dan sisa cairannya dibersihkan. Baru sekitar setengah jam kemudian, setelah saya mandi, dia diantar ke kamar dan langsung belajar menyusu. Tapi, ya nggak apa-apa deh semua buyar, yang penting kami selamat.
Karena merasa lebih enak pemulihan di rumah, besok siangnya saya minta pulang. Kalau di rumah sakit pasti susah ya, tapi Bidan Emma membolehkan dengan syarat saya harus istirahat dulu satu-dua hari, jangan langsung bekerja berat seperti mencuci (horee! :D).
Oh iya, si bayi yang selama di kandungan dijuluki “Yaya Dua” oleh si Yaya baru diyakini jenis kelaminnya waktu USG terakhir di dokter kandungan. Jadi, selama hamil saya nggak beli baju dan perlengkapan girly, yang androginy aja supaya nggak mubazir hehe ….
Mencari nama Yaya Dua ini nggak selama si Yaya. Bapaknya browsing dan mendapat nama “Amaya”, dari bahasa Jepang yang berarti “hujan pada malam hari” (karena lahirnya jam setengah sembilan malam dan hujan deras). Tapi, sepertinya itu lebih cocok untuk nama tengah, jadi depannya apa nih? Nah, besok malamnya, saya mimpi melihat cahaya dalam tampilan seperti Instagram, hahaaaa! Tapi, rasanya damai sekali, seperti melihat cahaya surgawi. Jadi, mulailah kami mencari nama yang berarti “cahaya” atau “terang”. Akhirnya dapat nama “Kenar” yang artinya cahaya, tapi kok agak aneh, jadi diputuskan dimodifikasi sedikit jadi Kinar. Jadilah nama si Yaya Dua ini Kinar Amaya Wahidin.
Tapiiii … karena si Yaya suka sekali serial Charlie dan Lola, awalnya dia pengen adiknya dinamai Lola. Tapi, Lola kan kelincinya teman saya Ainil, hihiiii …. Akhirnya boleh deh panggilannya dimodifikasi lagi, jadi Lula. Setelah dicari artinya, ternyata Lula itu \l(u)-la\as a girl’s name is a variant of Louise (Old German) and Luella (Old English), and the meaning of Lula is “famous warrior”. Terus, entah dari mana asalnya, si Yaya membalik panggilan Non Lula menjadi Lulanon, yang terbawa sampai sekarang. Kadang ditambah juga jadi “De Var Lulanon” dan “De Var De Nuneng”, entah dari mana.
Dan ternyata si Lula ini memang kesatria tangguh. Sewaktu dua bulan, setelah diimunisasi DPT dia ketularan pilek dari si Yaya. Mungkin karena kena serangan ganda, jadi panasnya banget bangeeet … sampai kejang! Awalnya dibawa ke klinik 24 jam dekat rumah dulu, tapi dokter jaga di sana menyarankan segera ke rumah sakit aja. Jadi langsung meluncur ke Hermina, alhamdulillah nggak macet. Empat hari di ICU, dua hari di ruang perawatan, tapi alhamdulillah akhirnya pulang juga!
Begitulah cerita Lulanon si bayi jabrik yang sekarang botak, si amis budi yang suka ketawa jahil ehek ehek ehek, dan hobi jerit-jerit seperti lady rocker.