Episode Jadi Guru Les

Ternyata, saya mengalami juga menjalani profesi ini. Profesi yang nggak diniati dan disengaja.

Awalnya sih waktu Yaya masih TK. Bu Teti, salah satu guru TK, meminta saya membuka les bahasa Inggris untuk anak-anak TK, teman-teman seangkatan si Yaya. Oke deh, sekalian ngasuh si Yaya, saya bersedia. Metodenya sama sekali nggak seperti les-les biasa, hanya nyanyi-nyanyi, mewarnai, menggambar, sedikit mencatat. Pesertanya lumayan banyak, mungkin ada sepuluh orang. Periode les ini berjalan cukup lama, sekitar satu semester, sampai bubar sendiri karena anak-anaknya lulus TK dan berpencar ke berbagai SD.

Murid les saya yang kedua adalah kakaknya teman sekelas Yaya di TK, namanya Dinda. Ibunya Dinda yang meminta lewat Bu Teti juga. Saya bilang oke juga. Dinda waktu itu mau ujian kelulusan SMP, dan saya ajari bahasa Inggris, matematika, dan fisika, yang ternyata masih lumayan ingat waktu belajar lagi, nggak seperti biologi yang blasss lupa, cuma ingat hukum Mendel dan teori genetika (dan mungkin reproduksi? :p ). Meskipun ini juga tanpa niat serius jadi guru les, saya senang sekali mengajar Dinda. Soalnya, Dinda rajin dan gigih. Yang agak sulit waktu itu bahasa Inggris, karena menurut Dinda, guru di SMP-nya nggak mengajarkan apa-apa (saya sampai heran, kenapa Dinda bisa naik kelas terus dengan kemampuan bahasa Inggris seperti itu). Tapi, hebatnya, Dinda bisa mengejar dari pengetahuan yang nyaris nol hingga melapor “lumayan bisa!” saat ujian. Waktu dia diterima di SMK negeri sesuai keinginannya, saya ikut senang sekali.

Setelah itu, saya cukup lama nggak memberi les. Hingga pada suatu hari, di sekolah Yaya (waktu itu Yaya kelas 2 SD) ada ekstrakulikuler. Si Yaya ikut menggambar (karena nggak mau yang lain-lain). Ada ekskul bahasa Inggris juga. Nah, baru berjalan beberapa minggu, tiba-tiba saja semua kegiatan ekskul dibatalkan. Alasannya, sekolah nggak mau memungut biaya tambahan, sementara, masa guru-guru yang mengasuh ekskul nggak dibayar? Setelah dibatalkan, ibu salah satu teman Yaya (yang juga tetangga dan waktu TK ikut les juga) meminta saya memberi les lagi untuk anaknya. Dan saya bilang oke juga. Yang ikut les bertiga, cewek-cewek sebaya Yaya (satu teman sekelasnya, dua lagi kakak kelas setahun).

Ternyata, kabar tentang saya yang memberi les menyebar ke tetangga-tetangga. Sampai akhirnya para tetangga yang punya anak-anak kecil (kelas satu sampai kelas tiga) mengirimkan anak-anaknya untuk les. Awalnya hanya bahasa Inggris, tapi akhirnya ada ibu yang meminta anak-anaknya diajari matematika juga. Di antara pelajaran les, saya selipkan materi membuat buku. Saya ajak anak-anak menulis cerita singkat (biasanya delapan halaman), membuat gambarnya, mewarnai, membuat sampulnya, dan menulis sinopsis. Boleh dong diselipi pendidikan literasi sedikit hihiii….

geng riweuh

geng riweuh beserta buku hasil karya mereka. wajah ditutupi bukan karena riweuh hihiii

Kemudian, selain anak-anak SD, kakaknya teman sekelas Yaya (ibunya teman sekelas saya di SD hehe), kelas 9 SMP, ikut les juga. Bahasa Inggris dan matematika. Lalu tambah satu lagi, cucunya kepala sekolah TK, kelas 7. Sama, bahasa Inggris dan matematika.

Saya sendiri nggak tahu apa yang mendorong saya bilang “Oke”. Soalnya, jika dihitung-hitung, dari pekerjaan menerjemahkan, saya bisa menghasilkan uang lebih banyak daripada memberi les dalam jangka waktu yang sama. Soalnya, tarif les di saya jauh lebih murah daripada bimbel. Saya juga bingung sendiri sih. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, mungkin pengalaman saya memberi les untuk Dinda yang menyebabkan saya mengiyakan permintaan les anak-anak itu (ibu-ibu mereka, tepatnya). Rasanya puas mendengar laporan anak bimbingan saya bisa mengerjakan soal-soal ujian.

Akhirnya, setelah berpikir dan merenung, saya merasa, mungkin ini jawabannya: pada saat ini, saya belum mampu bersedekah uang/materi dalam jumlah besar, jadi Tuhan menunjukkan jalan bahwa ini salah satu cara lain, bersedekah dengan ilmu (mudah-mudahan sedekahnya diterima, aamiin).

Dan ini juga membawa saya ke angan-angan selanjutnya: membuat bimbingan belajar antimainstream. Bimbel-bimbel umumnya kan memasang tarif tinggi, satu semester berjuta-juta. Suatu saat nanti, saya ingin membuat bimbel untuk murid-murid yang nggak mampu ikut bimbel mainstream, tapi punya semangat tinggi untuk belajar (mudah-mudahan cita-cita saya terkabul juga, aamiin).

Apakah selama saya memberi les merasa senang? Ternyata nggak. Kadang les diganggu Lula. Kadang yang les geng rusuh (anak-anak cowok yang kerjaannya beranteeeeem melulu), sampai-sampai setelah les saya cuma bisa mandi, makan, terus tidur! Kadang sebal kalau anak les yang SMP nggak fokus, sebentar-sebentar ngecek HP, waktu dikasih soal (yang pernah diajarkan) nggak bisa. Kadang sebal karena si Yaya malah nggak mau ikut belajar. Masa ibunya ngajarin anak-anak lain, anaknya nonton TV di bawah? Huhhh. Pengalaman buruk lain adalah saat terjebak di tengah-tengah antara ABG dan ibunya: si anak bilang les, padahal entah ke mana, terus minta saya bilang ke ibunya kalau dia les. Permintaan itu nggak saya iyakan, pas ibunya nanya ya saya jawab aja dia nggak les. Hasilnya ya dia dihukum orangtuanya. Heu.

Tapi ini episode kehidupan yang memang harus saya jalani. Entah sampai kapan. Mungkin suatu saat, kalau jalur hidup berkelok ke arah lain, episode jadi guru les ini terpaksa saya tinggalkan.