Ranah Minang, Saya Akan Kembali! (April 2018)

Ah, seharusnya saya menuliskannya beberapa bulan lalu. Soalnya, ini sambungan dari cerita workshop (harusnya saya pake kata lokakarya, tapi karena sudah telanjur jadi biar aja ya, beibehhhh) yang ini. Mudah-mudahan masih cukup akurat, maafkan kalau nggak, hehe….

Tanggal 16 April, wisata kuliner sudah dimulai padahal masih di Bandung. Makan di Sate Pojok Bandara Husein Sastranegara, yang konon terkenal sejak dulu. Sayang nggak ada fotonya, karena saya pikir toh ini di Bandung, bisa kapan pun didatangi lagi. Tapi, ternyata meskipun dari rumah ke bandara relatif dekat, karena belum ada lagi keperluan ke daerah situ, sampai sekarang belum mampir lagi.

Kami sampai di Padang sore dan hujan. Karena teman-teman yang dari Jakarta (Mbak Dina dan Mbak Erna) belum datang, kami menunggu di salah satu kedai kopi di bandara Padang. Waaa… sudah terasa kopinya beda dengan di Bandung! Apa bedanya, saya nggak bisa jelasin karena bukan pakar kopi, yang jelas kalo kata orang Spanyol mah LEKOH.

IMG-20180416-WA0003

Ngopi “lekoh” bersama Mbak Eva (difoto oleh Mas Ricky)

Di kedai kopi itu juga kami bertemu tim penjemput. Kami diantar ke Hotel Daima, menyimpan barang sebentar, lalu menuju kedai martabak Malabar. Di sana saya pesan nasi kabuli dibagi dua dengan Mbak Dina, soalnya porsinya edun! Nasi kabuli ini disajikan di piring kaleng, dengan potongan daging kambing, gulai terung, acar wortel dan mentimun, serta beberapa potong nanas. Rasa masakan penuh rempah khas India/Timur Tengah ini diseimbangkan segarnya acar dan irisan nanas, tapi sayang nanasnya buat saya kurang banyak. Saya juga sempat mencicip martabak telur plus kari kambingnya. Enak juga!

nasi kabuli malabar

Piring kaleng khas makanan India

Besoknya, kami sarapan di hotel. Biasanya kan masakan hotel menurut saya biasa-biasa aja, kalau masakan Indonesia, malah lebih enak di warung-warung pinggir jalan. Tapi, di Hotel Daima ini, sarapannya enaaaak! Menunya beragam, mulai dari roti, sereal, nasi, nasi goreng, dua sampai tiga macam lauk pauk. Yang menurut saya istimewa adalah ketupat sayurnya (dengan kuah yang berganti setiap hari, kuah kuning, kuah merah, kuah tauco), bubur-buburnya (bubur sumsum, bubur ketan hitam, kolak pisang), dan kue basah tradisionalnya (lupis dll). Saya nggak sempat foto-foto, tapi penampakan menu sarapan dan kue-kue basahnya bisa dilihat di sini, menit 1.00 sampai 1.20.

Workshop hari pertama dan kedua berlangsung di Politeknik Negeri Padang. Di sini, saya menemukan dua keistimewaan: pertama, kopinya enak! Menurut panitia, itu kopi kantin politeknik, cuma kopi tubruk biasa, disajikannya pun hanya pakai gelas kantin. Tapi harum, takarannya pas, manisnya pas! Keistimewaan kedua: nasi kotaknya. Nggak ada mereknya, sepertinya bukan dari restoran besar. Saya lupa, siapa ya yang bilang (mungkin Lala istrinya Dyno, tapi saya nggak yakin juga haha), mungkin makanannya dipesan dari warga sekitar kampus. Meskipun tanpa merek, dendeng baladonya, rendang daging sapinya, sayurnya, mantap!

air kemasan lokal

air kemasan lokal

Hari pertama itu, setelah workshop selesai, kami main ke Pantai Padang atau Taplau (Tapi Lauik), menanti matahari terbenam. Betulan menanti matahari terbenam doang, karena Pantai Padang menghadap ke barat.

 

Setelah puas melihat matahari terbenam, kami makan di rumah makan Iko Gantinyo, daerah Pecinan. Sate dan es duren! Sayang, satenya di sini agak kering. Tapi es durennya top. Kalau nggak kekenyangan, saya mau pesan lagi!

 

Setelah hari kedua workshop, kami diantar Bu Sari dan Ayah ke Mesjid Raya Sumatra Barat. Hanya foto-foto di luarnya sih (turis lokal banget ya haha), karena waktu salat asar sudah lama lewat dan magrib belum tiba. Setelah itu kami pulang ke hotel, lalu keluar lagi untuk makan malam di restoran boga bahari Samudra Jaya. Berbagai makanan dari laut dibumbui asam padeh, bumbu Padang, asam manis, dan lain-lain. Di sini juga ada daging rusa! Karena nggak kuat pedas, saya nggak banyak makan ikan asam padeh, padahal itu menu kesukaan banyak orang. Daging rusanya juga empuk.

ikan bakar samudra jaya

ikan bakar di Samudra Jaya

Hari ketiga, workshop di Universitas Bung Hatta dimulai. Di sini, kami disuguhi makan siang dari R.M. Sederhana yang sudah tersohor di seantero negeri. Kelezatannya nggak perlu diragukan lagi. Di sini, saya belajar salah satu adat Minang dari Mas Ricky, bahwa orang Minang makan hanya dengan tangan kanan (dan tanpa sendok). Tangan kiri nggak boleh kotor. Setelah dicoba, ternyata saya bisa juga. Pulangnya, kami diantar oleh sopir UBH ke daerah Pecinan lagi. Es duren lagi! Kali ini, kami mencoba Ganti Nan Lamo, yang letaknya di seberang Iko Gantinyo. Di perjalanan kami sempat tersesat (karena terlalu asyik mengagumi bangunan-bangunan antik di daerah Pecinan, dan bapak sopir UBH kurang mengenal daerah ini). Satenya lebih enak di sini, tapi menurut saya, es durennya lebih mantap di Iko Gantinyo. Di Ganti Nan Lamo, kita bisa memesan paket es duren yang bisa dibawa keluar kota. Tapi saya nggak pesan karena baru akan pulang beberapa hari kemudian.

Besoknya, setelah workshop selesai, kami diajak makan malam di Martabak Kubang Hayuda. Saya dan Mbak Erna membagi dua pesanan, nasi goreng kambing dan martabak kubang. Rasa martabaknya menurut saya nggak berbeda jauh dengan martabak Malabar, hanya nasi goreng kambingnya standar, meskipun ada rasa-rasa khas Sumatra yang nggak bisa ditemui di nasi goreng Bandung. Saya suka sekali saus martabaknya yang khas. Jauh deh dengan rasa saus martabak kubang di Bandung.

 

Setelah selesai makan di Hayuda, kami menuju daerah Ganting untuk makan durian! Bukan dalam bentuk es, tapi durian sungguhan! Oh, saya juga bersyukur karena rombongan workshop kali ini nggak ada yang alergi durian. Coba kalau ada yang nggak suka, pasti tersiksa karena hampir tiap malam menu makan kami ada duriannya.

IMG_20180420_200526

Oooh… durian sayang!

Sebetulnya acara workshop hanya empat hari, dan masih ada sisa satu hari yang bisa dimanfaatkan untuk jalan-jalan! Saya, Mbak Erna, Mbak Dina (dan anaknya yang menyusul untuk ikut jalan-jalan) sepakat untuk main ke Istana Pagaruyung dan sekitarnya. Tadinya sih ingin sekali ke Bukittinggi, tapi khawatir waktunya nggak cukup karena itu hari Sabtu (perjalanan ke Bukittinggi biasanya macet saat akhir pekan). Kalau menginap pun nggak mungkin karena Mbak Erna harus pulang Minggu pagi. Kami menyewa mobil beserta sopirnya, Pak John, rekomendasi Mas Ricky.

Di Pariaman, kami berhenti di pinggir jalan untuk membeli sala lauak khas daerah ini. Camilan ini berbentuk bulat, mirip bola obi, terbuat dari tepung beras dan ikan asin. Murah meriah, lima ribu dapat banyak! Tapi karena suka dower kalau makan ikan asin, saya cuma makan dua butir. Sayang nggak sempat difoto. Beberapa ratus meter kemudian, ketika menuju Padangpanjang, kami mampir lagi untuk membeli kue bika. Saya sendiri lebih suka kue bika (karena cenderung lebih suka manis). Rasanya mirip wingko. Ternyata, selain tepung beras dan parutan kelapa, ada tape singkong juga dalam adonannya. Harumnya khas, karena dibungkus daun baru dan dibakar langsung di atas bara api.

Kami kemudian melewati Air Terjun Lembah Anai. Saat itu hari Sabtu, jadi lokasi penuh wisatawan lokal. Parkir pun agak susah, bahu jalan sempit. Jadi, kami hanya lewat saja. Asyiknya, air terjun terlihat jelas dari jalan. Tidak terlalu jauh di seberangnya, ada pemandian umum. Kolam renangnya juga terlihat jelas dari jalan, jadi agak gimana ya kalau betulan berenang di sana hihi …. Mungkin cocoknya untuk anak-anak yang cuma main air.

lembah anai

foto seadanya dari jendela mobil yang melaju cukup kencang

Syukurlah Pak John ternyata tahu banyak tentang situs-situs bersejarah di Sumatera Barat ini. Objek bersejarah yang pertama kali ditunjukkan pada kami adalah sebuah mesjid yang usianya sudah ratusan tahun. Ternyata, setelah bertanya pada Mbah Gugel, itu Surau Lubuk Bauk, tempat Buya Hamka menuntut ilmu. Pernah jadi lokasi syuting film Kapal Van der Wijk juga. Cerita lebih lengkapnya bisa dibaca di sini.

 

Dari surau ini, kami melanjutkan perjalanan, melewati sawah-sawah, dan mampir di sebuah warung pinggir jalan yang menjual minuman kawa daun. Kawa ini berasal dari kata qahwa dalam bahasa Arab yang berarti kopi. Jadi, kawa daun adalah minuman daun kopi. Dulu, pada zaman penjajahan, para pekerja rodi yang bertugas di kebun kopi terpaksa menyeduh daun kopi yang dibakar, sementara buah kopinya diproduksi dan diminum kaum penjajah. Sedih ya. Rasanya pahit-pahit ganjil haha …. Yang jelas ada bau-bau hangus (ya iyalah, namanya juga daun dibakar), dan tentu saja saya lebih suka kopi! Tapi konon kawa daun ini berkhasiat, salah satunya untuk menurunkan tekanan darah tinggi.

 

Perhentian berikutnya adalah Desa Pariangan, kabupaten Tanah Datar. Desa ini sejuk karena ada di lereng Gunung Marapi. Pariangan ini salah satu desa terbaik di dunia menurut sebuah majalah pariwisata internasional. Menurut legenda, di sinilah awal mula keberadaan suku Minangkabau.

desa pariangan

Pemandangan Desa Pariangan dari situs Batu Tiga Sajarangan di seberangnya

IMG-20180421-WA0029

Udah mirip Siti Nurbuaya? (difoto oleh Mbak Dina di Mesjid Ishlah)

Di sini ada mesjid tertua di Sumatra Barat, Mesjid Ishlah, yang dibangun pada abad 11. Detail-detail interiornya megah, dan meskipun sudah beberapa kali direnovasi, ciri khas keantikannya (dalam arti baik) nggak hilang.

 

Di seberang mesjid ada situs Batu Tigo Sajarangan. Tapi belum ada keterangan apa pun yang menjelaskan situs apa itu. Di antara mesjid dan batu ada pemandian air panas. Sayangnya kami nggak mampir karena waktu terbatas, tapi air di selokan-selokan kecilnya juga panas.

prasasti pariangan

Salah satu dari Batu Tigo Sajarangan

 

Setelah keluar dari kompleks mesjid, ada sebuah cagar budaya juga, Kuburan Panjang atau Makam Tantejo Gurhano, arsitek pertama rumah gadang. Konon, jika diukur, panjang makam tokoh ini selalu berubah. Di sini juga ada delapan batu sandaran, yang digunakan untuk bermusyawarah. Kami nggak sempat masuk ke situs, hanya mengintip dari luar, karena perjalanan masih panjang. Di sekitar situ, saya juga melihat ada homestay. Waduh, kalau waktunya cukup, asyik juga menginap di sana!

Perjalanan dilanjutkan menuju Istana Pagaruyung. Di tengah jalan, kami melewati Batu Basurek, situs Makam Adityawarman. Karena terlewat dan tanggung juga kalau mau balik lagi, ya sudahlah, kami lanjutkan perjalanan. Tapi, kami menemukan juga situs bersejarah lain, Batu Batikam. Batu ini berlubang, konon ditikam oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang saat bertikai dengan saudaranya. Di sini juga ada batu-batu sandaran untuk bermusyawarah. Di dalam kompleks ini juga ada dua makam batu. Menurut ibu penjaga situs, itu makam putri kembar, tapi karena keterbatasan waktu, kami nggak bertanya lebih lanjut siapa sebenarnya mereka.

 

Akhirnya, tibalah kami di Istana Pagaruyung. Istana ini replika dari istana asli yang dibakar oleh kaum paderi tahun 1804. Pengunjung cukup ramai, tapi nggak penuh sesak.

Sebenarnya, saya berniat menyewa busana tradisional Minangkabau di sini, tapi apa daya, kepala jangar mengalahkan niat itu, haha! Padahal sudah minum parasetamol, tapi ternyata nggak langsung ampuh dan suntingnya berat. Jadi, di sini saya banyak memotret Mbak Dina dan Talitha, putrinya.

Meskipun batal berbusana Minangkabau, ada juga dong foto selfie si dekil dan satu lagi difotoin Mbak Erna, hahaaa!

 

Setelah puas berfoto-foto di Istana Pagaruyung (dan mengisi ulang baterai HP di salah satu pojokan), kami mencari tempat makan. Pilihan jatuh ke salah satu rumah makan berkolam ikan di dekat istana. Di sini saya makan tambusu dan keripik paru, juga minum teh talua. Pas bayar kaget, bukan karena mahal, tapi untuk makan sebanyak itu dengan lauk daging dan sebangsanya, harganya relatif murah!

IMG_20180421_151022

teh talua

Sayang sekali, sudah waktunya pulang ke hotel. Kalau tadi kami melewati Pariaman dan Padangpanjang, sekarang Pak John membawa kami melewati Danau Singkarak dan Solok yang terkenal dengan bareh-nya (beras). Memang benar, nasi di ranah Minang ini berbeda dengan nasi di Pulau Jawa. Lebih putih, tidak terlalu pulen, tapi nikmat! (Sebagai tim sanguan saya akui kehebatan nasinya!). Di Danau Singkarak kami sempat mampir di sebuah warung, sebetulnya bukan karena ingin beristirahat, tapi karena saya pengen pipis hahaa …. Supaya tidak terkesan cuma mampir membuang-buang sesuatu, Pak John sempat ngopi dan saya membeli minuman botol. Saya sempat ngobrol sebentar dengan pemilik warung, eh ternyata si bapak pernah tinggal di Cimahi cukup lama. Jadilah si bapak bernostalgia sejenak.

IMG_20180421_162332

sempat ditawari naik perahu, tapi mendung dan waktu terbatas

Rute perjalanan kali ini sering membuat kami berdecak kagum. Mirip dengan jalan ke Puncak Bogor, tapi jalur ke Puncak sekarang tinggal sedikit yang masih betul-betul alami. Jalur ini lebih panjang dan lebih asri. Saking kagumnya, saya sampai lupa memotret! Kami melewati Taman Hutan Raya Bung Hatta. Sayang sudah hampir magrib, kalau masih siang sih saya pasti minta Pak John mampir ke sana.

Kami juga melewati satu ruas jalan yang bernama Sitinjau Lauik. Dinamakan begitu, karena di sebagian titik jalan, kita bisa melihat laut. Dan memang benar! Tapi, lagi-lagi kami nggak berhenti karena susah parkir, jalan sempit dan menurun. Dari arah berlawanan banyak truk mendaki tanjakan yang cukup curam ini. Mengerikan juga, dengan muatan sebanyak itu, truk-truk bisa mundur lagi kalau nggak kuat nanjak. Banyak kecelakaan juga. Menurut Pak John, karena itulah sebelumnya kami dibawa melalui rute Pariaman-Padangpanjang-Tanah Datar, supaya perjalanan mendaki tidak terlalu terasa.

Akhirnya, kami tiba lagi di Padang. Makan di mana coba? Kembali di Ganti Nan Lamo, dan lagi-lagi saya pesan es duren, hahaha!

Sayang sekali, hari Minggu kami harus bubar. Pesawat kami berbeda-beda jamnya. Pagi-pagi, Mbak Erna yang pertama berangkat. Mbak Eva mengajak jalan-jalan ke Gunung Padang, tapi saya sudah janjian dengan Dyno dan Lala, jadi yang ikut hanya Mbak Dina dan Talitha. Sebelum Dyno dan Lala datang, saya sempat membeli sedikit oleh-oleh di Silungkang, toko cendera mata dekat hotel, lalu ke toko Shirley.

Jam sebelas, akhirnya saya meninggalkan hotel menuju bandara. Perjalanan kali ini cukup sekian. Tapi, mudah-mudahan diberi rezeki dan waktu, saya ingin kembali lagi ke Ranah Minang bersama keluarga. Cita-cita saya adalah napak tilas perjalanan Ompung Hitam dan Ompung Putih (dijuluki begitu karena di foto, ompung laki-laki masih berambut hitam, sementara ompung perempuan yang waktu saya kecil masih ada, rambutnya sudah uban semua) ke Bukittinggi. Kemudian lanjut ke kampung halaman dong, Kotanopan. Aamiin!

 

Catatan: kalau teman-teman jalan-jalan ke Padang dan perlu mobil sewaan plus sopir, dan selera jalan-jalannya mirip dengan selera saya, pakai jasa Pak John saja. Nanti saya kasih nomor teleponnya, japri 😉

6 thoughts on “Ranah Minang, Saya Akan Kembali! (April 2018)

Leave a comment